Rabu, 13 Juli 2011

Makanan Lokal Indonesia Lebih Halal


 

Saat ini makanan "modern" seperti aneka makanan siap saji (di negeri asalnya disebut junkfood alias makanan "sampah"), mie instan, dan aneka daging olahan dianggap bergengsi. Padahal, jika kita peduli dengan kehalalan sebuah makanan, maka kehalalan makanan-makanan ini tingkat "ketidakjelasan" halalnya sangat tinggi. ''Makanan lokal Indonesia sebetulnya jauh lebih halal, namun posisinya di mata konsumen malah dikatakan sebagai makanan tradisional,'' kata Direktur Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu Dr AH Bambang Setiadji pada Republika. Sekarang ini, kata dia, semua serba terbalik. Menurutnya, banyak macam makanan halal yang pohonnya tumbuh di Indonesia. ''Tetapi kita malah disuruh makan tepung terigu yang pohonnya tidak tumbuh di Indonesia. Kita datangkan tepung terigu dari negara lain yang kalau ditanyakan halalnya menjadi tanda tanya besar. Dan, sampai sekarang kita masih diam saja,''ungkap Bambang yang juga peneliti di Laboratorium Kimia-Fisika Fakultas MIPA UGM ini. Untuk itu perlu ada gerakan yang besar untuk pengurangan impor tepung terigu, karena untuk memasukkan tepung terigu juga ada gerakan yang besar. ''Namun gerakan kita agak berat, karena yang mempunyai swalayan bukan orang kita semua,''kata Bambang. Meskipun demikian gerakan itu harus dimulai dari sekarang misalnya dengan mencontoh Malaysia dan Thailand. Di sana makanan produk lokal seperti sagon dikemas dengan bagus dan diekspor. Contoh lain, jelas Bambang, adalah keripik durian dan produk-produk lokal lainnya kemasannya juga bagus. ''Produk ini hanya buatan industri rumah tangga, tetapi laku diekspor,'' jelasnya. Produk lokal di Indonesia, lanjut Bambang, jauh lebih bervariasi dan enak rasanya. Tetapi pengemasannya kurang menarik. ''Sehingga walaupun sudah ada yang disajikan di hotel-hotel, tetap saja kurang diminati, karena pengemasannya kurang eksklusif,'' tambahnya. Selain itu produk halal dari Malaysia dan Thailand diakui secara internasional. Di sana, standar makanan halal ketat sekali. Yang diberi kepercayaan mengakreditasi makanan halal adalah asosiasi Muslim yang kredibel. ''Mereka kontrol sampai di dapur dan peralatannya, tidak sekedar memberikan label halal saja,'' timpal Direktur REPINDO Training Center, Imam Nurhidayat. Industri makanan di sana kalau ingin mendapatkan akreditasi dan sertifikat halal, kata Imam, harus mendaftar ke asosiasi Muslim. Kemudian oleh asosiasi Muslim, industri makanan tersebut ditinjau, sesuai tidak dengan prosedur halal yang mereka tetapkan. ''Kalau sesuai, baru diakreditasi. Nanti setiap tiga bulan sekali ditinjau lagi. Mereka punya laboratorium lengkap,'' kata Imam. Ia mengatakan mungkin di antara negara-negara muslim makanan halal yang masuk ke pasar internasional terbanyak dari Thailand. Padahal, Thailand jelas bukan negara dengan mayoritas penduduknya Muslim. Di sisi lain, sertifikasi dari kedua negara ini juga diakui di lingkup internasional. Ia mengungkapkan temannya dari Indonesia mau mensuplai makanan dari Indonesia ke salah satu di negara Timur Tengah, harus mendapatkan sertifikat halal dari Malaysia. ''Standar halal itu lebih dipercaya kalau dari Malaysia. Sehingga Cina terpaksa membuat pabrik kamuflase di Malaysia untuk mengirim produknya ke Timur Tengah.'' Dari sisi pembiayaan impor, Malaysia juga menguntungkan secara bisnis. ''Kalau Malaysia yang kirim di Timur Tengah hanya dikenai biaya masuk 15 persen, tetapi kalau langsung dari Cina biaya masuknya 40 persen,'' ungkapnya. Keprihatinan terhadap pengakuan sertifikat halal kita di luar negeri juga diungkapkan Bambang. Halal kita, kata Bambang yang juga sebagai Penasehat REPINDO Training Center, tidak berlaku di negara lain. Hal itu kelihatannya karena akreditasinya kurang. ''Di sini mudah mendapatkan sertifikat halal dan tanpa akreditasi yang ketat seperti di Malaysia dan Thailand,''tutur dia. Menurut staf pengajar jurusan Kimia, FMIPA UGM ini, makanan halal suatu potensi yang sangat besar kalau mau dikembangkan. Karena itu dia mulai mengembangkan produk kelapa yang pohonnya tumbuh di hampir seluruh Indonesia. ''Kelapa harus menjadi komoditas riil yang bisa diunggulkan,''tutur Bambang yang pada tanggal 17 Mei mendatang akan menjadi pembicara dalam Seminar "Membangun Jaringan Bisnis Makanan Halal" di Bangkok tanggal 16-19 Mei 2005. Seminar tersebut diselenggarakan dalam rangka ''Thailand International Halal Food Exahibition (Halfex) 2005 yang diselenggarakan oleh REPINDO Training Center bekerja sama dengan Center for Regional Business Networking Malaysia dan Sun Pacific Travel (Thailand).

[sumber: www.republika.co.id]

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes