Senin, 04 Juli 2011

Ilmuwan Muda yang Sukses Bisnis Makanan Halal di Jepang



Selain dikenal sebagai ilmuwan muda Indonesia, Eko Fajar Nurprasetyo Ph.D juga founding father perusahaan jasa pemasok makanan halal di seluruh wilayah Jepang. Melalui istrinya, Eko Fajar Nurprasetyo mengibarkan bendera Azhar Halal Foods.

Kesuksesan Eko Fajar Nurprasetyo dalam membangun bisnis penyediaan makanan halal di seluruh pelosok negara matahari terbit itu berawal dari sebuah ketidaksengajaan. Azahar Halal Foods yang dirintis sejak 1992 tersebut, kini sudah menghasilkan pemasukan puluhan miliar.

Tinggal di Jepang karena memperoleh beasiswa pendidikan S1 dari Pemerintah Jepang, Eko yang tinggal di Osaka, selalu kesusahan mendapatkan daging halal.

Kalaupun ada, Eko Fajar yang saat itu masih lajang harus mencari di lokasi yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, yakni di Kobe.

Tak hanya Eko yang saat itu berkuliah di Universitas of Kyushu, para pelajar muslim lain di negara itu juga merasakan hal yang sama.

Terdesak oleh kebutuhan, suatu kali, Eko mengakomodasi teman-temannya para pelajar Indonesia. Dia menjadi sukarelawan berbelanja daging halal bagi teman-temannya.

Namun, makin lama, cara ini mereka rasa cukup merepotkan. Akan lebih praktis jika dia bisa memastikan ayam hidup dipotong di tempat pemotongan hewan secara halal. Alhasil, Eko mencari tempat pemotongan yang memperbolehkannya memotong sendiri.

Sampai suatu ketika, pada tahun 1992, sebuah tempat pemotongan ayam di Fukoka memperbolehkan Eko memotong sendiri ayam hidup. Konsekuensinya, harga daging menjadi lebih mahal 20%–30% atau setara dengan harga toko.

Eko lantas mendistribusikan daging ayam potong pada teman-teman yang sudah pesan. Jika harga beli ayam 800 yen, ia menjual seharga 900 yen, termasuk biaya ganti transportasi.

Menjelang akhir 1992, usaha Eko tersebut mulai didengar lebih banyak orang. Jumlah ayam yang dipotong pun kian banyak, sampai 100 ekor seminggu seiring dengan semakin banyaknya pesanan.

Pada tahun 1994, jumlahnya sudah menjadi 400 ekor per minggu. Kala itu ia sudah tidak sendiri. Dia lantas menggandeng adik tingkat pelajar dari Indonesia yang sekolah di sana. Eko pun dibantu oleh sang istri, Safitri yang hingga kini menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut.

Safitri sendiri menceritakan bagaimana usaha awal suaminya itu merintis bisnis makanan halal di Jepang.  “Suami saya cuma naik sepeda. Aktivitas tersebut dilakukan Sabtu pagi. Saban minggu, ia memotong antara 20–40 ekor ayam. Ini karena kami terdorong keinginan untuk mendapatkan daging yang halal dan masih segar saat dipotong,” ujar Safitri.

Semakin banyaknya pesanan yang lokasinya berjauhan membuat Eko dan pemilik tempat pemotongan kerepotan. Lantaran kewalahan mengatur waktu pemotongan, akhirnya Eko terpaksa pindah ke tempat pemotongan yang kapasitasnya lebih besar.

Tahun 1995, jumlah ayam yang dipotong per minggu mencapai 4.000 ekor. Jangkauan wilayah distribusi Eko meliputi seluruh Pulau Kyushu yang besarnya separuh Pulau Jawa.

Pada tahun tersebut, sebagai istri Eko, Safitri yang semula menjadi penonton mulai turun tangan. Eko juga mulai menyerahkan tampuk pengelolaan bisnis ini ke istrinya. Saat itu ia harus lebih konsentrasi menyelesaikan kuliah. “Tahun 1995, kami mulai serius berbisnis. Kami menata sistem pembukuan dan manajemen,” kata Safitri.

Pembenahan itu mulai dengan pengadaan mobil dan kulkas jumbo yang nilainya sekitar Rp 50 juta. Demi mempermudah pemesanan dan pemasaran, Eko dan Safitri juga membuka website resmi. Ia tidak menggunakan cara pemasaran lain. Selebihnya hanya dari mulut ke mulut.

Safitri sendiri mengatakan omzet perusahaannya hingga kini sudah mencapai Rp 10 miliar dalam satu tahun.

Seiring dengan semakin besarnya usaha, Eko dan Safitri berusaha terus melakukan inovasi termasuk menjualnya dalam pelbagai potongan daging ayam dan sapi halal.

Karena itu, perusahaan tersebut mampu menjual produk mereka lebih murah 10%–20% dibanding dengan daging yang berkualitas sama di pasar.

Safitri mengatakan, setiap bulan perusahaannya mampu menjual 8 ton daging ayam. Tak hanya itu, Azahr Halal Foods juga sudah menggandeng sekitar 20 agen yang tersebar di beberapa kepulauan di Jepang. Dalam setahun, Safitri mengaku perusahaannya mencetak omzet penjualan hingga Rp 10 miliar.

Sukses di bisnis daging halal ini memunculkan pesaing-pesaing baru. Sadar akan persaingan bisnis yang makin ketat, Safitri mulai kembali membuat inovasi produk. Mereka mulai memproduksi produk olahan halal seperti sosis.

Safitri tidak membuka pabrik sendiri, melainkan menjalin kerjasama dengan mitra. Dengan menetapkan standar dan syarat tertentu, sosis dijual dengan merek Azhar Halal.

Sambutan terhadap sosis halal ini ternyata cukup besar. Buktinya, permintaan yang masuk bisa lima kali lipat dari kapasitas produksi sebanyak 400 kilogram (kg) sebulan. Kapasitas terbatas lantaran diproduksi secara rumahan.

Pada tahun 2006, Azhar Halal mulai menjual daging wagyu halal. Daging sapi berkualitas itu mereka ekspor ke Kuwait dan Qatar. Meski permintaannya tidak rutin, sekali pesan bisa sampai 300 kilogram.

Tiga tahun terakhir, Safitri dan suami sudah pulang ke Indonesia. Roda bisnis di Jepang dijalankan oleh orang kepercayaan mereka. Kini mereka hanya memantau dari jauh.

 

Seorang Ilmuwan

Disampingi bisnis yang kini dikelola istrinya, Eko Fajar sendiri dikenal sebagai seorang ilmuwan muda. Pria yang juga ketua panitia pembangunan masjid Fukuoka Jepang ini pernah bekerja untuk perusahaan kenamaan di Jepang.

Sebelum kembali ke Indonesia, pada tahun 2006, Eko pernah bekerja di perusahaan elektronik kelas dunia Sony LSI. Sebelum pulang, Eko bekerja menjadi distinguished engineer di perusahaan tersebut selama dua tahun. Posisi tersebut sangatlah langka. Tak heran presiden direktur (presdir) Sony LSI saat itu sempat ‘nggandoli’ Eko.

Eko pun menceritakan dirinya bahkan sempat dipanggil dan ditanya soal alasanya untuk keluar.

“Selama ini, saya berkontribusi untuk Jepang, belum untuk negara saya,” ujar Eko.

Bahkan Eko mengaku kalau dirinya sempat ditanya soal gaji. “Beliau mengatakan jika masalahnya gaji, itu bisa dirundingkan,” ujar pria kelahiran 1971ini.

Kendati digandoli, Eko sudah mantap pulang.  Selain itu ada alasan lainnya yang membuat Eko harus pulang. “Ibu saya sudah sepuh sementara kedua adik juga berdomisili di luar negeri,” jelasnya. Eko merasa dirinya harus mengalah. Apalagi, dialah yang paling lama merantau ke negeri orang.

Presdir Sony LSI pun menerima keputusan Eko. Akan tetapi, ia sempat diminta untuk tidak pindah ke perusahaan sejenis. Maklum saja, di otaknya telah terekam informasi strategis pengembangan produk perusahaan itu. “Meskipun sudah berhenti, Sony LSI masih mengirimkan gaji saya selama enam bulan pertama. Ini sesuatu yang langka di Jepang,” ujarnya.

Selang satu tahun sejak kepulangannya, Eko pun mendirikan design house semikonduktor, Versatile Silicon Technology. Pelanggannya mayoritas orang Jepang. “Kami mendesain IC untuk power controller produk power supply komputer dan cukuran janggut serta image processor untuk barcode scanner,” cerita bapak lima anak ini.

Tahun 2008, Eko melihat kesempatan untuk mendesain cip Wimax. Ia memang masih harus memproduksinya di luar negeri. “Tetapi, chip itu menjadi produk pertama yang memakai merek Indonesia dan inilah satu-satunya perusahaan di Asia Tenggara yang mendesain cip untuk Wimax,” ujarnya.

Kini, Eko kesulitan memenuhi permintaan pasar. Ia memimpikan Xirka, perusahaan desainer chipset pertama di Indonesia itu, tak berjalan sendirian di bisnis ini. “Minimal harus ada sepuluh perusahaan sejenis,” cetus pria kelahiran Tangerang ini.

Harapan Eko bukan sesuatu yang muluk, sejatinya. Apalagi, di percaturan dunia, negara yang memiliki industri semikonduktor jauh lebih dihargai. “Sayangnya, kebanyakan orang masih berkonsentrasi di hilir, tidak serius menggarap industri hulunya.”

Semua negara maju, lanjut Eko, memiliki industri semikonduktor. Teknologi ini sangat penting untuk kemandirian bangsa. “Semikonduktor merupakan teknologi yang menjadi pintu masuk bagi kemunculan teknologi lain,” paparnya.

sumber:surabayapost.com]

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes